MAKALAH
S O S I O L O G I
“Problematika
Penerapan Pidana Mati Dalam Perspektif HAM di Indonesia”
Tema
: Keterpurukan Hukum di Indonesia.
NAMA : AL-AMIN
STAMBUK : 21209019
KELAS : IIIA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
KENDARI
2014
KATA
PENGANTAR
Puji syukur bagi bagi Allah yang memiliki keagungan,
pemilik ilmu pengetahuan sejati, kepadanya lah saya panjatkan rasa syukur taj
henti-hentinya atas anugrah, rahmat dam karunianya, atas semua potensi yang ada
pada saya hingga dapat terselesainya makalah ini.
Makalah yang berjudul “Problematika Penerapan Pidana
Mati Dalam Perspektif HAM di Indonesia”, sebagai sebuah karya yang lahir dari
keterbatasan alam pemikiran saya tentusaja makalah ini banyak terdapat banyak
kekurangan dan masih diperlukan proses dalam mengembangkan pemikiran yang lebih
sistematis, dan mendalam. Maka dalam bebrapa hal ini mungkin ada substansi yang
sudah berubah dan berkembang, oleh karena itu kritik dan saran pembaca merupak
bagian yang terpenting dalam pengembangan makalah ini.
Kendari,
6 Januari 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar............................................................................................................. i
Daftar
isi........................................................................................................................ ii
Bab
I : Pendahuluan..................................................................................................... 1
A.
Latar belakang.................................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah............................................................................................... 2
C.
Manfaat............................................................................................................... 2
D.
Tujuan................................................................................................................. 2
Bab
II : Pembahasan.................................................................................................... 3
A.
T ujuan pemidanaan............................................................................................ 3
B.
Pidana mati dan pidana penjara di Indonesia..................................................... 4
C.
Prinsip-prinsip HAM........................................................................................... 8
D.
Eksistensi pidana mati........................................................................................ 10
E.
Problematika penerapan pidana mati dalam
perspektif HAM di Indonesia....... 10
Bab
III : Penutup.......................................................................................................... 13
A.
Kesimpulan......................................................................................................... 13
B.
Saran................................................................................................................... 13
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................................. 14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perdebatan tentang hukuman mati sudah cukup
lama berlangsung dalam wacana hukum pidana di Indonesia. Dari pendekatan
historis dan teoritik, hukuman mati adalah pengembangan teori absolut dalam ilmu hukum
pidana. Teori ini mengajarkan tentang pentingnya efek jera (detterence effect)
dalam pemidanaan.
Dari pendekatan secara historis dan teoritik tersebut
maka hukuman mati menjadi wacana pro dan kontra di Indonesia sejak dahulu
hingga sekarang. Bagi yang kontra didasarkan pada alasan atau menyangkut HAM
(Hak Asasi Manusia), salah satunya ialah hak manusia untuk hidup hal ini
didasarkan pada Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi "Setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya". Keabsahan hukuman mati terus dipertanyakan. ini terkait
dengan pandangan “Hukum Kodrat” yang
menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu
yang tidak dapat dirampas dan dikurang-kurang (non-derogable rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan
dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum atau dalam situasi
darurat. Sebagai hak yang dianugerahkan Tuhan, hak hidup tidak bisa diambil
oleh manusia manapun meski atasnama Tuhan sekalipun. berangkat dari alasan
inilah maka hukuman mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.
Sebaliknya bagi yang pro berpendapat bahwa penjatuhan
hukuman mati tidak ada hubungannya dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
sebab segala bentuk hukuman pada dasarnya melanggar hak asasi orang. Penjara
seumur hidup itu juga merampas hak asasi, sebab pemidanaan dijatuhkan dengan
melihat tindak pidana atau perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Hukuman mati
dilakukan terhadap pelanggaran norma hukum yang mengancam suatu perbuatan
sehingga harus dihukum demikian. Secara normatif hukuman mati diterapkan di
negara-negara modern khususnya Indonesia atas perbuatan-perbuatan yang
berhubungan dengan subversi, makar, terorisme, pembunuhan berencana dan
lain-lain. Dengan demikian pantaslah orang yang melakukan demikian dijatuhi
hukuman mati.
B. Rumusan
Masalah
1. Tujuan pemidanaan
2.
Pidana Mati dan Pidana Penjara di
Indonesia
3.
Prinsip-prisip HAM
4.
Eksistensi pidana
mati
5.
Problematika
penerapan pidana mati dalam perspetif HAM di Indonesia
C.
Manfaat
Manfaat
dari makalah ini adalah sebagai bahan pembelajan bagi pembaca agar lebih
memahami problematika penerapan pidana mati dalam perspektif HAM di Indonesia.
D.
Tujuan
Agar
pembaca dapat mengerti problematika penerapan pidana mati dalam perspektif HAM
di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tujuan
pemidanaan
Sebagaimana
telah terurai, pemidanaan secara sederhana dapat diartikan dengan penghukuman.
Penghukuman yang dimaksud berkaitan dengan penjatuhan pidana dan alasan-alasan
pembenar (justification) dijatuhkannya pidana terhadap seseorang yang
dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde) dinyatakan secara
sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana. Tentunya, hak penjatuhan
pidana dan alasan pembenar penjatuhan pidana serta pelaksanaannya tersebut
berada penuh di tangan negara dalam realitasnya sebagai roh.
Patut
diketahui, bahwa tidaklah semua filsuf ataupun pakar hukum pidana sepakat
bahwa negaralah yang mempunyai hak untuk melakukan pemidanaan (subjectief
strafrech). Hal ini dapat terlihat jelas pada pendapat Hezewinkel-Suringa
yang mengingkari sama sekali hak mempidana ini dengan mengutarakan keyakinan
mereka bahwa si penjahat tidaklah boleh dilawan dan bahwa musuh tidaklah boleh
dibenci. Pendapat ini dapat digolongkan sebagai bentuk negativisme,
dimana para ahli yang sependapat dengan Suringa tersebut menyatakan hak
menjatuhkan pidana sepenuhnya menjadi hak mutlak dari Tuhan.
Negativisme
yang dimaksud di atas, penulis anggap sebagai bentuk penegakan hukum secara utopis
di masa sekarang ini, dikarenakan penegakan hukum agama menganggap Negara
adalah perpanjangan tangan Tuhan di dunia. Sementara itu, dewasa ini cenderung
untuk mengkotomikan antara konsep-konsep sistem pemerintahan dan penegakan
hukum dengan ajaran-ajaran agama tertentu. Bagi kalangan religius hal ini
dianggap menuju arah paham sekularisme (walaupun tidak secara absolut), namun
hal ini semakin hari-hari semakin banyak dipraktekkan pada banyak Negara pada
sistem ketatanegaraan yang berimplikasi pada bentuk hukum pidana positif. Hal
ini dapat terlihat jelas pada Negara kita dengan tidak diberlakukannya hukum
agama secara mutlak dalam hukum nasional kita (faktor kemajemukan sosial) dan
juga pada Negara-negara lainya.
Jadi, dapatlah kita
berpedoman pada mazhab wiena yang menyatakan hukum dan negara adalah identik,
karena adalah tak lain daripada satu susunan tingkah laku manusia dan satu
ketertiban paksaan kemasyarakatan.
B.
Pidana Mati dan Pidana Penjara di Indonesia
Pidana mati dan pidana
penjara merupakan bagian dari jenis-jenis pidana yang berlaku berdasarkan hukum
pidana positif Indonesia. Sebagaimana diketahui kedua bentuk pidana tidaklah
dapat dikumulasikan. Hanya saja dalam tataran das sein hal ini
sering terjadi terhadap terpidana mati. Oleh karena keganjilan tersebut penulis
akan mencoba menguraikan pidana mati dan pidana penjara secara terpisah serta
korelasi kedua jenis pidana dalam permasalahan pidana mati guna mempermudah
memahami hasil penelitian penulis yang akan diuraikan pada bab berikutnya.
·
Pidana Penjara
Pidana penjara merupakan
jenis hukuman yang berdasarkan pelakasanaannya mempunyai kemiripan pelaksanaan
pidana kurungan. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Satochid Kartanegara yang
menyatakan kedua bentuk hukuman ini sama-sama dilakukan dengan cara merampas
kemerdekaan orang-orang yang melanggar undang-undang. Hanya saja, pada pidana
kurungan si narapidana mempunyai beberapa hak istimewa yang tidak dipunyai oleh
narapidana hukuman penjara dan begitu juga sebaliknya. Adapun hak yang tidak dimiliki
oleh narapidana hukuman penjara ialah hak pistole, sebaliknya
narapidana pidana kurungan tidak berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
Berdasarkan sejarah,
pelaksanaan pidana penjara sebagai bentuk hukuman yang merampas kemerdekaan
barulah dikenal pada awal abad ke-18. Pada saat itu pidana pejara lahir sebagai
pidana baru yang berbentuk membatasi kebebasan bergerak, merampas kemerdekaan,
menghilangkan kemerdekaan yang harus dirasakan sebagai derita selama menjalani
pidana penjara bagi narapidana. Indonesia sendiri mengenal pidana penjara
secara normatif sejak diberlakukan berdasarkan ordonantie10
Desember 1917 Staatsblad tahun 1917 No. 708 yang dikenal
dengan Gestichtenreglemen yang berinduk pada WvS.
Pada saat ini,
pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan dan berbagai
peraturan dibawahnya. Dalam hal itu, pelaksanaan pidana penjara disesuaikan
dengan fungi pokok Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat narapidana dibina
selama menjalani pidana yang dijatuhkan padanya dan dalam hal ini narapidana
juga dikategorikan sebagai warga binaan Lembaga Pemasyarakata. Adapun fungsi
pokok Lembaga Pemasyarakatan yaitu membina serta mempersiapkan para narapidana
supaya dapat hidup bermasyarakat tanpa menggangu dan merugikan anggota
masyarakat yang lain.
Berdasarkan pasal 12
ayat (1) KUHP, pidana penjara dibagi menjadi dua yaitu seumur hidup dan selama
waktu tertentu. Dilihat dari sudut penjatuhan pidana dan juga sudut terpidana,
pidana seumur hidup bersifat pasti (definite sentence) karena si
terpidana dikenakan jangka waktu yang pasti (a definite periode of time),
yaitu menjalani pidana sepanjang hidup di dunia ini. Selain itu, pidana seumur
hidup juga dianggap sebagai bentuk hukuman yang berlebihan bagi beberapa ahli
hukum dan masyarakat pemerhati hak asasi manusia. Bahkan ada pendapat seorang
terpidana mati (Doris Ann Foster) di salah satu Negara bagian Amerika Serikat
yang secara frontal menolak pidana penjara seumur hidup. Ia menyatakan, bahwa
ia hanya mau mati atau dibebaskan (lebih baik mati dari pada pidana seumur
hidup. I want to die or to be free, katanya.
Menurut penulis, apa
yang disampaikan Foster sangatlah menarik untuk dicermati, dikarenakan hampir
sebagia besar terpidana mati memiliki pandangan yang berbeda sengan Foster.
Namun,
Pada pidana penjara
selama waktu tertentu ukuran pemidanaan (strafmaat) paling pendek adalah
satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. Pidana penjara
selama waktu tertentu dapat pula dijatuhkan dua puluh tahun berturut-turut
dalam hal kejahatan yang diancam dengan pidana mati, pidana seumur hidup dan
pidana penjara selama waktu tertentu atau apabila terdapat perbarengan (concursus),
pengulangan (recidive) ataupun ditentukan lain oleh aturan
perundang-undangan di luar KUHP.
Selain pidana penjara
seumur hidup, bentuk pidana penjara selama waktu tertentu berdasarkan fungsi
pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha
rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan yang telah
melahirakan suatu sistem pembinaan.
Berdasarkan penjelasan
di atas, timbullah kontradiksi yang mencolok antara pidana seumur hidup dan
pidana penjara selama waktu tertentu berdasarkan aspek tujuan pemidanaan. Dalam
hal ini, Barda Nawawi arief berpendapat :
Mengingat
sifat/karakterisitik pidana seumur hidup yang demikian, maka sebenarnya
ada kontradiksi ideantara pidana seumur hidup dengan sistem
pemasyarakatan ini. Pidana penjara seumur hidup lebih berorientasi pad aide
perlindungan kepentingan masyarakat, sedangkan pidana penjara dengan sistem
pemasyarakatan lebih berorientasi pada ide perlindungan kepentingan masyarakat,
sedangkan pidana penjara denagn sistem pemasyarakatan lebih berorientasi
pada ide perlindungan/pembinaan dan perbaikan (rehabilitasi) si terpidana untuk
dikembalikan kepada masyarakat.
Jadi dapat penulis
simpulkan bahwa ada ketidak singkronan pada sistem pemasyarakatan dengan bentuk
pidana seumur hidup. Oleh karena itu, sudah sepatutnya diadakan
perbaikan-perbaikan pada pidana penjara sebagai sarana penal yang
paling “laris” untuk menghindari kekeliruan yang dapat muncul di kemudian hari.
·
Pidana Mati
Bentuk pidana ini
merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar
ketentuan undang-undang. Pidana ini juga merupakan hukuman tertua dan
paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan
dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah
tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti
oleh umum.
Berdasarkan sejarah
pidana mati bukanlah bentuk hukuman yang relatif baru di Indonesia. Pidana ini
telah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan. Hal ini dapat dibuktkan dengan
memperhatikan jenis-jenis pidana menurut hukum adat atau huum para raja dahulu,
umpamanya :
a. Mencuri dihukum
potong tangan ;
b. pidana mati dilakukan
dengan jalan memotong-motong daging dari badan (sayab), kepala ditumbuk
(sroh), dipenggal dan kemudian kepalanya
ditusuk dengan gantar (tanjir), dan sebagainya.
Pelaksanaan eksekusi
mati di wilayah Indonesia tidak hanya terpatok pada keterangan di atas.
Misalnya, di Aceh eksekusi bisa dilaksanakan dengan lembing, di Bali dapat
dilaksanakan dengan cara ditenggelamkan ke laut,sedangkan pada suku batak
dilaksanakan dengan sistem alternatif dimana apabila pembunuh tidak membayar
uang salah maka eksekusi bisa dilaksanakan, dan berbagai macam jenis-jenis
eksekusi mati lainnya. Dengan memperhatikan kebiasaaan (adat) dan hukum adat
dari Aceh sampai Irian memperlihatkan kepada kita pidana mati dikenal oleh
semua suku di Indonesia. Hingga penulis menarik kesimpulan bahwa bukan Belanda
lah yang memperkenalkan pidana mati pada bangsa ini.
Penerapan hukum pidana
oleh pemerintah Belanda di wilayah Indonesia diberlakukan berdasarkan
pemberlakuan “Wet boek van Strafrecht” yang mulai berlaku pada
1 Januari 1918. Pada ketentuan ini, pidana mati ditetapkan sebagai salah satu
jenis pidana pokok yang tertuang dalam pasal 10. Pelaksanaan eksekusi pidana
mati dilakukan dengan hukuman gantung sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP.
Kemudian denganStaatsblad 1945 Nomor123 yang dikeluarkan oleh
pemerintah Belanda, pidana mati dijatuhkan dengan cara ditembak mati. Hal ini
diperkuat dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tahun 1964, Lembaran
Negara 1964 Nomor 38 kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang nomor 5 Tahun
1969 yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan cara menembak mati
terpidana. Dalam hal ini eksekusi harus dihadiri Jaksa (Kepala Kejaksaan
Negeri) sebagai eksekutor dan secara tekhnis pelaksaan eksekusi dilakukan oleh
regu tembak kepolisian.
Patut diketahui bahwa
pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati haruslah dilaksanakan setelah
putusan pengadilan yang dijatuhkan padanya berkekuatan hukum tetap dan kepada
si terpidana telah diberikan kesempatan untuk mengajukan grasi kepada Presiden.
Pelaksanaan eksekusi dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melalui fiat
executie (persetujuan Presiden).
Maka jelaslah disini
bahwa pidana mati pada dasarnya dan seharusnya dijadikan sebagai sarana penalyang
terakhir dan hanya dapat dipergunakan terhadap orang-orang yang tidak dapat
dilakukan pembinaan lagi dan dirasakan membahayakan kehidupan masyarakat luas
bahkan negara sekalipun
Mengenai korelasi pidana
penjara secara normatif tidak ada kaitanya sama sekali, hanya saja pidana mati
dipergunakan sebagai sarana bagi Negara untuk merampas kemerdekaan terpidana
menjelang dilaksanakan eksekusi agar ia tidak melarikan diri. Berdasarkan hal
tersebut, timbulah permasalahan dimana sarana pidana penjara seolah dijatuhkan
Negara sebagai bentuk hukuman tambahan terhadap terpidana mati. Dikatakan
demikian karena kecendrungan yang terjadi di negeri kita pelaksanaan eksekusi
mati terhadap terpidana berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Maka di
Negara ini seolah-olah sebagian besar terpidana mati menjalani dua bentuk
hukuman sekaligus, yaitu dengan diawali pidana penjara terlebih dahulu, lalu
barulah dilaksanakan pidana yang sesungguhnya dijatuhkan padanya yaitu pidana
mati.
Permasalahan ini
menyebabkan semakin kompleksnya problematika pada pidana mati. Kini topik
pemberitaan seolah-olah bergeser menyangkut problematika penundaan eksekusi
pidana mati.[33] Oleh
beberapa alasan yang penulis sebutkan tersebutlah suatu pro dan kontra terhadap
eksistensi mengenai lembaga pidana mati.
C.
Prinsip-prisip HAM
Prinsip
Hak Asasi Manusia, diantaranya :
1.
Bersifat Universal
(universality)
Beberapa
moral dan nilai-nilai etik tersebar di seluruh dunia. Negara dan masyarakat di
seluruh dunia seharusnya memahami dan menjunjung tinggi hal ini. Universalitas
hak berarti bahwa hak tidak dapat berubah atau hak tidak dialami dengan
cara yang sama oleh semua orang.
2.
Martabat Manusia
(human dignity)
Hak
asasi merupakan hak yang melekat, dan dimiliki setiap manusia di dunia. Prinsip
HAM ditemukan pada pikiran setiap individu, tanpa memperhatikan umur, budaya,
keyakinan, etnis, ras, jender, orienasi seksual, bahasa, kemampuan atau kelas
sosial. setiap manusia, oleh karenanya, harus dihormati dan dihargai hak
asasinya. Konsekuensinya, semua orang memiliki status hak yang sama dan
sederajat dan tidak bisa digolong-golongkan berdasarkan tingkatan hirarkis.
3.
Kesetaraan
(equality)
Konsep
kesetaraan mengekspresikan gagasan menghormati martabat yang melekat pada
setiap manusia. Secara spesifik pasal 1 DUHAM menyatakan bahwa : setiap umat
manusia dilahirkan merdeka dan sederajat dalam harkat dan martabatnya.
4.
Non diskriminasi
(non-discrimination)
Non
diskriminasi terintegrasi dalam kesetaraan. Prinsip ini memastikan bahwa tidak
seorangpun dapat meniadakan hak asasi orang lain karena faktor-faktor luar,
seperti misalnya ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau
pandangan lainnya, kebangsaan, kepemilikan, status kelahiran atau lainnya
5.
Tidak dapat dicabut
(inalienability)
Hak-hak
individu tidak dapat direnggut, dilepaskan dan dipindahkan
6.
Tak bisa dibagi
(indivisibility)
HAM-baik
hak sipil, politik, sosial, budaya, ekonomi-semuanya bersifat inheren, yaitu
menyatu dalam harkat martabat manusia. Pengabaian pada satu hak akan
menyebabkan pengabaian terhadap hak-hak lainnya. Hak setiap orang untuk bisa
memperoleh penghidupan yang layak adalah hak yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi: hak tersebut merupakan modal dasar bagi setiap orang agar mereka bisa
menikmati hak-hak lainnya seperti hak atas kesehatan atau hak atas pendidikan
7.
Saling berkaitan dan
bergantung (interrelated and interdependence)
Pemenuhan
dari satu hak seringkali bergantung kepada pemenuhan hak lainnya, baik secara
keseluruhan maupun sebagian. Contohnya, dalam situasi tertentu, hak atas
pendidikan atau hak atas informasi adalah saling bergantung satu sama lain.
Oleh karena itu pelanggaran HAM saling bertalian; hilangnya satu hak mengurangi
hak lainnya.
8.
Tanggung jawab
negara (state responsibility)
Negara
dan para pemangku kewajiban lainnya bertanggung jawab untuk menaati hak asasi.
Dalam hal ini, mereka harus tunduk pada norma-norma hukum dan standar yang
tercantum di dalam instrumen-instrumen HAM. Seandainya mereka gagal dalam
melaksanakan tanggung jawabnya, pihak-pihak yang dirugikan berhak untuk
mengajukan tuntutan secara layak, sebelum tuntutan itu diserahkan pada sebuah
pengadilan yang kompeten atau adjudikator (penuntu) lain yang sesuai dengan
aturan dan prosedur hukum yang berlaku.
D.
Eksistensi pidana mati
Padana mati dapat di
katakansebagaia salah jenis pidana yang tertua yang paling controversial di
seluruh dunia, selain itu juga dapat dikatakan sebagai pidana yang paling
kejam, dikatakan kejam karena dalam pelaksanaannyaterkait dengan hidup matinya
seseorang.
Tidaklah mengherankan
jika kemudian pidana mati ini dikatakan oleh sebagian orang sebagai lembaga
pidana yang tertua dalam usia akan tetapi selalu bersifat mudfa, ungkapan ini
bahwa pidana mati selalu di buah bibirkan oleh semua kalangan, dahulu, sekarang
maupun yang akan datangselama pidana mati ini belum dihapusmaka akan tetap di
persoalkan dan akan tetap menjadi buah bibir.
Oleh karena itu,
wajarlah bahwa pidana mati ini merupakan suatu problem yang paling
controversial, controversial dalam arti bahwa ada dua pemikiran dengan pangkal
tolak yang sama akan tetapi berakhir dengan hasilyang berlawanan, juga
controversial dalam arti bahwa ada dua landasan pemikiran yang jelas berbeda
atau bertolak belakang sejak semula.
E.
Problematika penerapan
pidana mati dalam perspetif HAM di Indonesia
1. HAM
Sebelum kita membahas tentang hukuman mati terlebih
dahulu kita bahas tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia (HAM)
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap
orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1
angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM). Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan
seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun
tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM.
2.
Hukuman
Mati Dalam
Sistem Hukum Indonesia
Seperti yang kita tahu bahwa di Indonesia terdapat 3
(tiga) sistem hukum: Sistem Hukum Barat, Sistem Hukum Islam dan Sistem Hukum
Adat. Ketiga sistem tersebut pada akhirnya dikemas menjadi Sistem Hukum
Nasional.
Ketiga sistem hukum tersebut membahas tentang kejahatan
terhadap nyawa yang berbeda-beda. Dalam sistem hukum barat yang tertuang dalam
KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), Pidana mati adalah hukuman yang terberat dari semua yang diancamkan terhadap
kejahatan yang berat, misalnya :
a.
Pembunuhan
berencana (Pasal 340 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Di dalam pasal
tersebut dijelaskan: Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu
merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord)
dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh
tahun.
b.
Kejahatan
terhadap keamanan Negara, Pasal 104 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Di
dalam pasal tersebut dijelaskan: Makar dengan maksud membunuh Presiden atau
Wakil Presiden atau dengan maksud merampas kemerdekaan mereka tidak mampu memerintah,
diancam dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau pidana paling lama waktu tertentu, paling lama
dua puluh tahun.
c.
Melanggar
Pasal 124 ayat (3) ke 1 dan ke 2 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
ancaman hukumannya pidana mati atau
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimulan
Dari pembahasan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya hukuman mati masih
relevan diterapkan di Indonesia jika dilihat dari kacamata hubungan hukum dan
ilmu sosial yang tumbuh dalam masyarakat walaupun dalam Undang-undang Dasar
1945 telah dirumuskan bahwa Hak Asasi Manusia dalam hal ini tentang Hak Hidup
wajib dilindungi oleh negara yang bersifat non deregoble human right artinya
hak hidup seseorang tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun akan tetapi
demi kepentingan umum negara wajib memberi pembatasan HAM tentang hak hidup
berdasarkan perbuatan sesorang agar tujuan-tujuan dari hukum dapat berjalan
dengan baik.
B. Saran
Bagi
penegak hukum, khususnya para pembuat produk hokum hendaknya memprhatikan aspek
kemanusiaan dalam hal membuat suatu rumusan yang berisi tentang pidana mati,
dan juga pada aspek penegak hukum harus lebih memperhatikan aspek kedepan
beserta alasan tentang penerapan pidana mati.
Bagi
seluruh masyarakat hendaklah mematuhi hokum tang bertujuan untuk mencapai
keadilan dan ketertiban, karena dengan tertibnya hokum dapat tercipta suatu
kondisi yang nyaman, serta memperhatikan ketentuan internasional HAM dalam
penerapan pidana mati.
DAFTAR PUSTAKA
Zein ahmad yahya. 2012. Problematika Hak
Asasi Manusia (HAM). Yogyakarta: Penerbit Liberty Yogyakarta.
Internet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar