Kamis, 23 Januari 2014

Problematika Penerapan pidana mati dalam perspektif HAM di Indonesia

MAKALAH
S O S I O L O G I
“Problematika Penerapan Pidana Mati Dalam Perspektif HAM di Indonesia”
Tema : Keterpurukan Hukum di Indonesia.
logo umk











    NAMA                   : AL-AMIN
    STAMBUK           : 21209019
    KELAS                  : IIIA



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
KENDARI
2014



KATA PENGANTAR

Puji syukur bagi bagi Allah yang memiliki keagungan, pemilik ilmu pengetahuan sejati, kepadanya lah saya panjatkan rasa syukur taj henti-hentinya atas anugrah, rahmat dam karunianya, atas semua potensi yang ada pada saya hingga dapat terselesainya makalah ini.
Makalah yang berjudul “Problematika Penerapan Pidana Mati Dalam Perspektif HAM di Indonesia”, sebagai sebuah karya yang lahir dari keterbatasan alam pemikiran saya tentusaja makalah ini banyak terdapat banyak kekurangan dan masih diperlukan proses dalam mengembangkan pemikiran yang lebih sistematis, dan mendalam. Maka dalam bebrapa hal ini mungkin ada substansi yang sudah berubah dan berkembang, oleh karena itu kritik dan saran pembaca merupak bagian yang terpenting dalam pengembangan makalah ini.


Kendari, 6 Januari 2014

Penulis



DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................................. i
Daftar isi........................................................................................................................ ii
Bab I : Pendahuluan..................................................................................................... 1
A.    Latar belakang.................................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah............................................................................................... 2
C.     Manfaat............................................................................................................... 2
D.    Tujuan................................................................................................................. 2
Bab II : Pembahasan.................................................................................................... 3
A.    T ujuan pemidanaan............................................................................................ 3
B.     Pidana mati dan pidana penjara di Indonesia..................................................... 4
C.     Prinsip-prinsip HAM........................................................................................... 8
D.    Eksistensi pidana mati........................................................................................ 10
E.     Problematika penerapan pidana mati dalam perspektif HAM di Indonesia....... 10
Bab III : Penutup.......................................................................................................... 13
A.    Kesimpulan......................................................................................................... 13
B.     Saran................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 14





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Perdebatan tentang hukuman mati sudah cukup lama berlangsung dalam wacana hukum pidana di Indonesia. Dari pendekatan historis dan teoritik, hukuman mati adalah pengembangan teori absolut dalam ilmu hukum pidana. Teori ini mengajarkan tentang pentingnya efek jera (detterence effect) dalam pemidanaan. 
Dari pendekatan secara historis dan teoritik tersebut maka hukuman mati menjadi wacana pro dan kontra di Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. Bagi yang kontra didasarkan pada alasan atau menyangkut HAM (Hak Asasi Manusia), salah satunya ialah hak manusia untuk hidup hal ini didasarkan pada Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi "Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya". Keabsahan hukuman mati terus dipertanyakan. ini terkait dengan pandangan “Hukum Kodrat” yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas dan dikurang-kurang (non-derogable rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum atau dalam situasi darurat. Sebagai hak yang dianugerahkan Tuhan, hak hidup tidak bisa diambil oleh manusia manapun meski atasnama Tuhan sekalipun. berangkat dari alasan inilah maka hukuman mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.
Sebaliknya bagi yang pro berpendapat bahwa penjatuhan hukuman mati tidak ada hubungannya dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). sebab segala bentuk hukuman pada dasarnya melanggar hak asasi orang. Penjara seumur hidup itu juga merampas hak asasi, sebab pemidanaan dijatuhkan dengan melihat tindak pidana atau perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Hukuman mati dilakukan terhadap pelanggaran norma hukum yang mengancam suatu perbuatan sehingga harus dihukum demikian. Secara normatif hukuman mati diterapkan di negara-negara modern khususnya Indonesia atas perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan subversi, makar, terorisme, pembunuhan berencana dan lain-lain. Dengan demikian pantaslah orang yang melakukan demikian dijatuhi hukuman mati.

B.     Rumusan Masalah
1.      Tujuan pemidanaan
2.      Pidana Mati dan Pidana Penjara di Indonesia
3.      Prinsip-prisip HAM
4.      Eksistensi pidana mati
5.      Problematika penerapan pidana mati dalam perspetif HAM di Indonesia
C.    Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah sebagai bahan pembelajan bagi pembaca agar lebih memahami problematika penerapan pidana mati dalam perspektif HAM di Indonesia.
D.    Tujuan
Agar pembaca dapat mengerti problematika penerapan pidana mati dalam perspektif HAM di Indonesia.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tujuan pemidanaan
Sebagaimana telah terurai, pemidanaan secara sederhana dapat diartikan dengan penghukuman. Penghukuman yang dimaksud berkaitan dengan penjatuhan pidana dan alasan-alasan pembenar (justification) dijatuhkannya pidana terhadap seseorang yang dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde) dinyatakan secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana. Tentunya, hak penjatuhan pidana dan alasan pembenar penjatuhan pidana serta pelaksanaannya tersebut berada penuh di tangan negara dalam realitasnya sebagai roh.
Patut diketahui, bahwa tidaklah semua filsuf ataupun pakar hukum pidana sepakat  bahwa negaralah yang mempunyai hak untuk melakukan pemidanaan (subjectief strafrech). Hal ini dapat terlihat jelas pada pendapat Hezewinkel-Suringa yang mengingkari sama sekali hak mempidana ini dengan mengutarakan keyakinan mereka bahwa si penjahat tidaklah boleh dilawan dan bahwa musuh tidaklah boleh dibenci. Pendapat ini dapat digolongkan sebagai bentuk negativisme, dimana  para ahli yang sependapat dengan Suringa tersebut menyatakan hak menjatuhkan pidana sepenuhnya menjadi hak mutlak dari Tuhan.
Negativisme yang dimaksud di atas, penulis anggap sebagai bentuk penegakan hukum secara utopis di masa sekarang ini, dikarenakan penegakan hukum agama menganggap Negara adalah perpanjangan tangan Tuhan di dunia. Sementara itu, dewasa ini cenderung untuk mengkotomikan antara konsep-konsep sistem pemerintahan dan penegakan hukum dengan ajaran-ajaran agama tertentu. Bagi kalangan religius hal ini dianggap menuju arah paham sekularisme (walaupun tidak secara absolut), namun hal ini semakin hari-hari semakin banyak dipraktekkan pada banyak Negara pada sistem ketatanegaraan yang berimplikasi pada bentuk hukum pidana positif. Hal ini dapat terlihat jelas pada Negara kita dengan tidak diberlakukannya hukum agama secara mutlak dalam hukum nasional kita (faktor kemajemukan sosial) dan juga pada Negara-negara lainya.
Jadi, dapatlah kita berpedoman pada mazhab wiena yang menyatakan hukum dan negara adalah identik, karena adalah tak lain daripada satu susunan tingkah laku manusia dan satu ketertiban paksaan kemasyarakatan.

B.     Pidana Mati dan Pidana Penjara di Indonesia
Pidana mati dan pidana penjara merupakan bagian dari jenis-jenis pidana yang berlaku berdasarkan hukum pidana positif Indonesia. Sebagaimana diketahui kedua bentuk pidana tidaklah dapat dikumulasikan. Hanya saja dalam tataran das sein hal ini sering terjadi terhadap terpidana mati. Oleh karena keganjilan tersebut penulis akan mencoba menguraikan pidana mati dan pidana penjara secara terpisah serta korelasi kedua jenis pidana dalam permasalahan pidana mati guna mempermudah memahami hasil penelitian penulis yang akan diuraikan pada bab berikutnya.

·         Pidana Penjara
Pidana penjara merupakan jenis hukuman yang berdasarkan pelakasanaannya mempunyai kemiripan pelaksanaan pidana kurungan. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Satochid Kartanegara yang menyatakan kedua bentuk hukuman ini sama-sama dilakukan dengan cara merampas kemerdekaan orang-orang yang melanggar undang-undang. Hanya saja, pada pidana kurungan si narapidana mempunyai beberapa hak istimewa yang tidak dipunyai oleh narapidana hukuman penjara dan begitu juga sebaliknya. Adapun hak yang tidak dimiliki oleh narapidana hukuman penjara ialah hak pistole, sebaliknya narapidana pidana kurungan tidak berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
Berdasarkan sejarah, pelaksanaan pidana penjara sebagai bentuk hukuman yang merampas kemerdekaan barulah dikenal pada awal abad ke-18. Pada saat itu pidana pejara lahir sebagai pidana baru yang berbentuk membatasi kebebasan bergerak, merampas kemerdekaan, menghilangkan kemerdekaan yang harus dirasakan sebagai derita selama menjalani pidana penjara bagi narapidana. Indonesia sendiri mengenal pidana penjara secara normatif sejak diberlakukan berdasarkan ordonantie10 Desember 1917 Staatsblad tahun 1917 No. 708 yang dikenal dengan Gestichtenreglemen yang berinduk pada WvS.
Pada saat ini, pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan dan berbagai peraturan dibawahnya. Dalam hal itu, pelaksanaan pidana penjara disesuaikan dengan fungi pokok Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat narapidana dibina selama menjalani pidana yang dijatuhkan padanya dan dalam hal ini narapidana juga dikategorikan sebagai warga binaan Lembaga Pemasyarakata. Adapun fungsi pokok Lembaga Pemasyarakatan yaitu membina serta mempersiapkan para narapidana supaya dapat hidup bermasyarakat tanpa menggangu dan merugikan anggota masyarakat yang lain.
Berdasarkan pasal 12 ayat (1) KUHP, pidana penjara dibagi menjadi dua yaitu seumur hidup dan selama waktu tertentu. Dilihat dari sudut penjatuhan pidana dan juga sudut terpidana, pidana seumur hidup bersifat pasti (definite sentence) karena si terpidana dikenakan jangka waktu yang pasti (a definite periode of time), yaitu menjalani pidana sepanjang hidup di dunia ini. Selain itu, pidana seumur hidup juga dianggap sebagai bentuk hukuman yang berlebihan bagi beberapa ahli hukum dan masyarakat pemerhati hak asasi manusia. Bahkan ada pendapat seorang terpidana mati (Doris Ann Foster) di salah satu Negara bagian Amerika Serikat yang secara frontal menolak pidana penjara seumur hidup. Ia menyatakan, bahwa ia hanya mau mati atau dibebaskan (lebih baik mati dari pada pidana seumur hidup. I want to die or to be free, katanya.
Menurut penulis, apa yang disampaikan Foster sangatlah menarik untuk dicermati, dikarenakan hampir sebagia besar terpidana mati memiliki pandangan yang berbeda sengan Foster. Namun,
Pada pidana penjara selama waktu tertentu ukuran pemidanaan (strafmaat) paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. Pidana penjara selama waktu tertentu dapat pula dijatuhkan dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang diancam dengan pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu atau apabila terdapat perbarengan (concursus), pengulangan (recidive) ataupun ditentukan lain oleh aturan perundang-undangan di luar KUHP.
Selain pidana penjara seumur hidup, bentuk pidana penjara selama waktu tertentu berdasarkan fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan yang telah melahirakan suatu sistem pembinaan.
Berdasarkan penjelasan di atas, timbullah kontradiksi yang mencolok antara pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu berdasarkan aspek tujuan pemidanaan. Dalam hal ini, Barda Nawawi arief berpendapat :
Mengingat sifat/karakterisitik pidana seumur hidup yang demikian, maka sebenarnya ada kontradiksi ideantara pidana seumur hidup dengan sistem pemasyarakatan ini. Pidana penjara seumur hidup lebih berorientasi pad aide perlindungan kepentingan masyarakat, sedangkan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan lebih berorientasi pada ide perlindungan kepentingan masyarakat, sedangkan pidana penjara denagn sistem pemasyarakatan  lebih berorientasi pada ide perlindungan/pembinaan dan perbaikan (rehabilitasi) si terpidana untuk dikembalikan kepada masyarakat.
Jadi dapat penulis simpulkan bahwa ada ketidak singkronan pada sistem pemasyarakatan dengan bentuk pidana seumur hidup. Oleh karena itu, sudah sepatutnya diadakan perbaikan-perbaikan pada pidana penjara sebagai sarana penal yang paling “laris” untuk menghindari kekeliruan yang dapat muncul di kemudian hari.

·         Pidana Mati
Bentuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana ini  juga merupakan hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.
Berdasarkan sejarah pidana mati bukanlah bentuk hukuman yang relatif baru di Indonesia. Pidana ini telah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan. Hal ini dapat dibuktkan dengan memperhatikan jenis-jenis pidana menurut hukum adat atau huum para raja dahulu, umpamanya :
a. Mencuri dihukum potong tangan ;
b. pidana mati dilakukan dengan jalan memotong-motong daging dari badan (sayab), kepala ditumbuk (sroh),  dipenggal dan kemudian kepalanya ditusuk dengan gantar (tanjir), dan sebagainya.

Pelaksanaan eksekusi mati di wilayah Indonesia tidak hanya terpatok pada keterangan di atas. Misalnya, di Aceh eksekusi bisa dilaksanakan dengan lembing, di Bali dapat dilaksanakan dengan cara ditenggelamkan ke laut,sedangkan pada suku batak dilaksanakan dengan sistem alternatif dimana apabila pembunuh tidak membayar uang salah maka eksekusi bisa dilaksanakan, dan berbagai macam jenis-jenis eksekusi mati lainnya. Dengan memperhatikan kebiasaaan (adat) dan hukum adat dari Aceh sampai Irian memperlihatkan kepada kita pidana mati dikenal oleh semua suku di Indonesia. Hingga penulis menarik kesimpulan bahwa bukan Belanda lah yang memperkenalkan pidana mati pada bangsa ini.
Penerapan hukum pidana oleh pemerintah Belanda di wilayah Indonesia diberlakukan berdasarkan  pemberlakuan “Wet boek van Strafrecht” yang mulai berlaku pada 1 Januari 1918. Pada ketentuan ini, pidana mati ditetapkan sebagai salah satu jenis pidana pokok yang tertuang dalam pasal 10. Pelaksanaan eksekusi pidana mati dilakukan dengan hukuman gantung sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP. Kemudian denganStaatsblad 1945 Nomor123 yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda, pidana mati dijatuhkan dengan cara ditembak mati. Hal ini diperkuat dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tahun 1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38 kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang nomor 5 Tahun 1969 yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan cara menembak mati terpidana. Dalam hal ini eksekusi harus dihadiri Jaksa (Kepala Kejaksaan Negeri) sebagai eksekutor dan secara tekhnis pelaksaan eksekusi dilakukan oleh regu tembak kepolisian.
Patut diketahui bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati haruslah dilaksanakan setelah putusan pengadilan yang dijatuhkan padanya berkekuatan hukum tetap dan kepada si terpidana telah diberikan kesempatan untuk mengajukan grasi kepada Presiden. Pelaksanaan eksekusi dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melalui fiat executie (persetujuan Presiden).
Maka jelaslah disini bahwa pidana mati pada dasarnya dan seharusnya dijadikan sebagai sarana penalyang terakhir dan hanya dapat dipergunakan terhadap orang-orang yang tidak dapat dilakukan pembinaan lagi dan dirasakan membahayakan kehidupan masyarakat luas bahkan negara sekalipun 
Mengenai korelasi pidana penjara secara normatif tidak ada kaitanya sama sekali, hanya saja pidana mati dipergunakan sebagai sarana bagi Negara untuk merampas kemerdekaan terpidana menjelang dilaksanakan eksekusi agar ia tidak melarikan diri. Berdasarkan hal tersebut, timbulah permasalahan dimana sarana pidana penjara seolah dijatuhkan Negara sebagai bentuk  hukuman tambahan terhadap terpidana mati. Dikatakan demikian karena kecendrungan yang terjadi di negeri kita pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Maka di Negara ini seolah-olah sebagian besar terpidana mati menjalani dua bentuk hukuman sekaligus, yaitu dengan diawali pidana penjara terlebih dahulu, lalu barulah dilaksanakan pidana yang sesungguhnya dijatuhkan padanya yaitu pidana mati.
Permasalahan ini menyebabkan semakin kompleksnya problematika pada pidana mati. Kini topik pemberitaan seolah-olah bergeser menyangkut problematika penundaan eksekusi pidana mati.[33] Oleh beberapa alasan yang penulis sebutkan tersebutlah suatu pro dan kontra terhadap eksistensi mengenai lembaga pidana mati.

C.    Prinsip-prisip HAM

Prinsip Hak Asasi Manusia, diantaranya :
1.      Bersifat Universal (universality)
Beberapa moral dan nilai-nilai etik tersebar di seluruh dunia. Negara dan masyarakat di seluruh dunia seharusnya memahami dan menjunjung tinggi hal ini. Universalitas hak berarti bahwa hak tidak dapat  berubah atau hak tidak dialami dengan cara yang sama oleh semua orang.
2.      Martabat Manusia (human dignity)
Hak asasi merupakan hak yang melekat, dan dimiliki setiap manusia di dunia. Prinsip HAM ditemukan pada pikiran setiap individu, tanpa memperhatikan umur, budaya, keyakinan, etnis, ras, jender, orienasi seksual, bahasa, kemampuan atau kelas sosial. setiap manusia, oleh karenanya, harus dihormati dan dihargai hak asasinya. Konsekuensinya, semua orang memiliki status hak yang sama dan sederajat dan tidak bisa digolong-golongkan berdasarkan tingkatan hirarkis.

3.      Kesetaraan (equality)
Konsep kesetaraan mengekspresikan gagasan menghormati martabat yang melekat pada setiap manusia. Secara spesifik pasal 1 DUHAM menyatakan bahwa : setiap umat manusia dilahirkan merdeka dan sederajat dalam harkat dan martabatnya.
4.      Non diskriminasi (non-discrimination)
Non diskriminasi terintegrasi dalam kesetaraan. Prinsip ini memastikan bahwa tidak seorangpun dapat meniadakan hak asasi orang lain karena faktor-faktor luar, seperti misalnya ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lainnya, kebangsaan, kepemilikan, status kelahiran atau lainnya
5.      Tidak dapat dicabut (inalienability)
Hak-hak individu tidak dapat direnggut, dilepaskan dan dipindahkan
6.      Tak bisa dibagi (indivisibility)
HAM-baik hak sipil, politik, sosial, budaya, ekonomi-semuanya bersifat inheren, yaitu menyatu dalam harkat martabat manusia. Pengabaian pada satu hak akan menyebabkan pengabaian terhadap hak-hak lainnya. Hak setiap orang untuk bisa memperoleh penghidupan yang layak adalah hak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi: hak tersebut merupakan modal dasar bagi setiap orang agar mereka bisa menikmati hak-hak lainnya seperti hak atas kesehatan atau hak atas pendidikan
7.      Saling berkaitan dan bergantung (interrelated and interdependence)
Pemenuhan dari satu hak seringkali bergantung kepada pemenuhan hak lainnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Contohnya, dalam situasi tertentu, hak atas pendidikan atau hak atas informasi adalah saling bergantung satu sama lain. Oleh karena itu pelanggaran HAM saling bertalian; hilangnya satu hak mengurangi hak lainnya.

8.      Tanggung jawab negara (state responsibility)
Negara dan para pemangku kewajiban lainnya bertanggung jawab untuk menaati hak asasi. Dalam hal ini, mereka harus tunduk pada norma-norma hukum dan standar yang tercantum di dalam instrumen-instrumen HAM. Seandainya mereka gagal dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pihak-pihak yang dirugikan berhak untuk mengajukan tuntutan secara layak, sebelum tuntutan itu diserahkan pada sebuah pengadilan yang kompeten atau adjudikator (penuntu) lain yang sesuai dengan aturan dan prosedur hukum yang berlaku.
D.    Eksistensi pidana mati
Padana mati dapat di katakansebagaia salah jenis pidana yang tertua yang paling controversial di seluruh dunia, selain itu juga dapat dikatakan sebagai pidana yang paling kejam, dikatakan kejam karena dalam pelaksanaannyaterkait dengan hidup matinya seseorang.
Tidaklah mengherankan jika kemudian pidana mati ini dikatakan oleh sebagian orang sebagai lembaga pidana yang tertua dalam usia akan tetapi selalu bersifat mudfa, ungkapan ini bahwa pidana mati selalu di buah bibirkan oleh semua kalangan, dahulu, sekarang maupun yang akan datangselama pidana mati ini belum dihapusmaka akan tetap di persoalkan dan akan tetap menjadi buah bibir.
Oleh karena itu, wajarlah bahwa pidana mati ini merupakan suatu problem yang paling controversial, controversial dalam arti bahwa ada dua pemikiran dengan pangkal tolak yang sama akan tetapi berakhir dengan hasilyang berlawanan, juga controversial dalam arti bahwa ada dua landasan pemikiran yang jelas berbeda atau bertolak belakang sejak semula.

E.     Problematika penerapan pidana mati dalam perspetif HAM di Indonesia

1.      HAM

Sebelum kita membahas tentang hukuman mati terlebih dahulu kita bahas tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
2.      Hukuman Mati Dalam Sistem Hukum Indonesia
Seperti yang kita tahu bahwa di Indonesia terdapat 3 (tiga) sistem hukum: Sistem Hukum Barat, Sistem Hukum Islam dan Sistem Hukum Adat. Ketiga sistem tersebut pada akhirnya dikemas menjadi Sistem Hukum Nasional.
Ketiga sistem hukum tersebut membahas tentang kejahatan terhadap nyawa yang berbeda-beda. Dalam sistem hukum barat yang tertuang dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), Pidana mati adalah hukuman yang terberat dari semua yang diancamkan terhadap kejahatan yang berat, misalnya : 
a.       Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Di dalam pasal tersebut dijelaskan: Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord) dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. 
b.      Kejahatan terhadap keamanan Negara, Pasal 104 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Di dalam pasal tersebut dijelaskan: Makar dengan maksud membunuh Presiden atau Wakil Presiden atau dengan maksud merampas kemerdekaan mereka tidak mampu memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana paling lama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. 
c.       Melanggar Pasal 124 ayat (3) ke 1 dan ke 2 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) ancaman hukumannya pidana mati atau penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimulan
Dari pembahasan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya hukuman mati masih relevan diterapkan di Indonesia jika dilihat dari kacamata hubungan hukum dan ilmu sosial yang tumbuh dalam masyarakat walaupun dalam Undang-undang Dasar 1945 telah dirumuskan bahwa Hak Asasi Manusia dalam hal ini tentang Hak Hidup wajib dilindungi oleh negara yang bersifat non deregoble human right artinya hak hidup seseorang tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun akan tetapi demi kepentingan umum negara wajib memberi pembatasan HAM tentang hak hidup berdasarkan perbuatan sesorang agar tujuan-tujuan dari hukum dapat berjalan dengan baik.
B.     Saran
Bagi penegak hukum, khususnya para pembuat produk hokum hendaknya memprhatikan aspek kemanusiaan dalam hal membuat suatu rumusan yang berisi tentang pidana mati, dan juga pada aspek penegak hukum harus lebih memperhatikan aspek kedepan beserta alasan tentang penerapan pidana mati.
Bagi seluruh masyarakat hendaklah mematuhi hokum tang bertujuan untuk mencapai keadilan dan ketertiban, karena dengan tertibnya hokum dapat tercipta suatu kondisi yang nyaman, serta memperhatikan ketentuan internasional HAM dalam penerapan pidana mati.





DAFTAR PUSTAKA
Zein ahmad yahya. 2012. Problematika Hak Asasi Manusia (HAM). Yogyakarta: Penerbit Liberty Yogyakarta.
Internet.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar